SOAL toilet, negara pula yang mengurus. Betapa tidak, bukankah begitu banyak regulasi terkait toilet dalam peraturan perundang-undangan kita? Aturan yang kemudian disematkan seperti melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) atau Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker). Di antaranya, ada Permenkes No 48 Tahun 2016 tentang Standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja Perkantoran, Kepmenkes No 1098 tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Rumah Makan dan Restoran, Permenkes No 17 Tahun 2020 tentang Pasar Sehat, Permenaker No 5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dan lain sebagainya yang di dalamnya notabene ada tetek-bengek terkait toilet.
Tak hanya negara, komunitas, lembaga, berbagai yayasan peduli lingkungan dan kesehatan, pun muncul menyuarakan pentingnya toilet yang bersih, nyaman, dan sehat. Mereka berkampanye, membuat program edukatif, menebar poster, masuk sekolah-sekolah, bergiat di media sosial, bahkan hingga tegang urat leher mereka turun ke jalan menghalo-halokan agar masyarakat punya kesadaran mewujudkan prilaku positif terkait menjaga kebersihan toilet ini.
Studi tentang toilet juga sudah bejibun. Mulai dari prilaku warga pengguna toilet, toilet dan penyakit, hingga studi tentang disain toilet itu sendiri. Sudah banyak kertas kerja yang dipresentasikan, jadi skripsi, disertasi atau dijadikan buku sekalipun. Begitu benarlah!
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ada dua pemaknaan toilet; toilet-1, peranti untuk berhias; kamar rias; meja rias (dengan cermin besar). Toilet-2; tempat cuci tangan dan muka; kamar kecil (kakus).Sesungguhnya, yang tengah kita bicarakan sekarang, tentu pemaknaan toilet yang kedua.
Kamar kecil, kakus, WC (water closet), jamban, tampek madu, tampek ka sungai, sumbaranglah, yang jelas semua itu adalah keseharian kita. Bayangkan, dalam sehari jika kita tak jumpa dengan ‘makhluk’ yang bernama toilet atau WC tersebut. Dulu, masih ada parak, sungai yang tersuruk, atau pinggir laut yang sunyi, untuk pelampiasan buang air kecil atau buang air besar. Khusus untuk pinggir laut ini, teringat pula saya pada suatu masa bahwa ada label untuk daerah tertentu yang punya WC terpanjang di dunia. Hehe…!
Ya, kini suka atau tidak, toilet muncul menjadi barang penting, kebutuhan pokok malah. Semua harus peduli. Soalnya, sudah banyak sumpah serapah tentang toilet yang bau, apek, busuk, ariang, bahkan menjijikkan. Terutama untuk toilet umum, seperti yang terletak di tempat-tempat wisata, pasar, perkantoran dan tempat-tempat publik lainnya.
Yang paling disorot itu adalah di tempat-tempat wisata, padahal banyak pula toilet yang jorok dan bau di tempat-tempat rumah ibadah kita. Mungkin, karena yang di tempat wisata itu terkait pengunjung dari luar dan kejorokan itu cepat ‘laku’ untuk dijual, maka toilet yang ariang itu, viral-lah seketika.
Sampai-sampai seorang Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, sejak awal-awal memimpin kementerian tersebut, dalam berbagai kesempatan, dia meminta pelaku usaha pariwisata membentuk satuan tugas. “Satgas Toilet” namanya, berada di destinasi yang ramai dikunjungi turis. Satgas tersebut, katanya, bertugas memastikan sarana-prasarana toilet agar tetap bersih sehingga membuat wisatawan nyaman.
Menurut Sandiaga, toilet memiliki peran penting sebagai salah satu indikator pariwisata. Toilet menjadi beranda depan pariwisata nasional. Bukan hanya indah, toilet harus layak dari sisi ketersediaan air bersihnya, kelengkapan sarananya, hingga higienitasnya.
Masih soal begitu pentingnya toilet, LIXIL, perusahaan global asal Jepang untuk produk sanitasi dan perumahan, menginisiasi program ‘Toilet untuk Negeri’, yang akan menyediakan toilet umum inovatif di 1.000 titik di Tanah Air. Dalam program itu, LIXIL berkolaborasi dengan Jamban.id (perusahaan rintisan sanitasi berbasis aplikasi mobile dan dashboard), Tukang.com (perusahaan teknologi yang menyediakan jasa tukang dan pemeliharaan gedung), Ethis Indonesia (penyelenggara peer-to-peer financing syariah), Gringgo (perusahaan pengembang teknologi berbasis data di bidang lingkungan dan kesejahteraan sosial), hingga Frday (perusahaan penyedia teknologi informasi).
Penandatanganan nota kesepahaman untuk program ‘keroyokan’ ini diadakan di LIXIL Showroom, Jakarta Selatan, Kamis (7/7/2022). Di sejumlah daerah, proyek ini sedang berjalan. Terlepas dari misi-misi tertentu dari institusi global ini, yang jelas ini harus dilihat dari kacamata positif bahwa ada semangat, nilai-nilai edukasi, untuk memasyarakatkan pentingnya untuk menghadirkan toilet bersih dan sehat dalam keseharian kita.
Ya, sejenak kita tengok pula di luar sana, dan ternyata soal toilet juga menjadi perbincangan serius. Dalam sebuah referensi, ada namanya London Loo Tours, sebuah perjalanan berlabel ‘Wisata WC Umum’ yang diadakan oleh seorang mantan mahasiswa asal Amerika Serikat, Rachel Erickson.
Wisata toilet umum ini berlangsung sekitar 1 jam 30 menit dengan berjalan kaki. Gambar bendera Inggris Raya mewarnai fasilitas toilet umum berbayar Jubiloo di pinggir Sungai Thames.
Rachel, lulusan mahasiswa Jurusan Teater itu mengaku memulai usaha wisata toilet semula sebagai lelucon dan mencoba dulu dengan mengunjungi jamban-jamban umum. Sejak didirikan pada Januari 2013, paket wisata WC umum itu rata-rata menarik 15-25 orang per hari. Satu orang dipungut sekitar Rp230.000. “Inggris mempunyai catatan sejarah panjang tentang toilet umum. Tempat tersebut punya signifikansi mulai dari aspek kesehatan, kebersihan dan standar sosial. Toilet adalah cermin masyarakat,” ucap Rachel, seperti dikutip www.bbc.com.
Kendatipun tidak dirinci, seberapa menarik toilet atau WC itu untuk dikunjungi, dan apakah sensasi itu masih ada saat ini atau tidak, yang jelas ini lagi-lagi marwah yang menafsirkan betapa pentingnya toilet umum yang representatif itu dalam keseharian kita.
Kini, regulasi yang dikeluarkan negara kita tentang pentingnya toilet, sudah banyak. Pihak-pihak peduli kesehatan dan lingkungan, pun sudah banyak yang mengimbau-imbau. Sebuah imbauan yang bijak, santun, sudah tak terbilang kalinya disosialisasikan ke tengah-tengah masyarakat.
Bahkan hingga suatu ketika saya pernah membaca imbauan ekstrem yang tertera di dinding WC umum; ‘Tolong Disiram’, ‘Yang tak Menyiram = Anjing!’
Hmmm, imbauan apalagi yang kurang!
Saya bukan ahli kesehatan, apalagi ahli toilet. Namun demikian, mulailah dari hal-hal yang sederhana.
Pertama, edukasi dalam keluarga. Ajarkan (budayakan) kepada keluarga kita pola hidup bersih. Termasuk saat keluar toilet, harus bersih. Bila sudah tertanam budaya tersebut, kontan saat masuk toilet umum, pun kebiasaan tersebut akan tetap dilakukan.
Kedua, pentingnya sarana dan kelengkapan dalam toilet. Sudahkah ada sabun pembersih, tempat sampah, sikat pembersih, tisu, gayung dan air dalam toilet kita? Termasuk soal ventilasi udara, yang selama ini sering terabaikan. Bila belum, terlebih di toilet umum, bagiamana pula kita menuntut orang keluar toilet bisa bersih, sementara air kran tersendat atau sabun tak ada. Artinya, pihak yang bertanggung jawab dalam penyediaan toilet tersebut harus memastikan pula terlebih dahulu semua kelengkapan dalam toilet tersedia. Jangan menuntut saja yang bisa.
Ketiga, perlu disain toilet yang enak dipandang mata. Ruangannya jangan terlalu sempit. Terlebih untuk toilet umum. Ada keindahan di sekitarnya. Seperti taman. Begitu juga di rumah kita, jangan terlalu kecil, disalek-salek-an saja.
Keempat, perlu juga dipikirkan semacam lomba toilet umum bersih. Dilakukan secara berkala oleh lembaga pemerintah terkait atau lembaga/yayasan yang peduli. Seperti toilet di tempat-tempat wisata, resto, sekolah atau rumah ibadah. Ini akan menjadi motivasi tersendiri, minimal bagi yang sudah mendapat penghargaan, kontan akan tetap berupaya untuk menjadikan toilet mereka tetap bersih, nyaman dan sehat.
Kelima, Sosialisasi tak bertepi. Maksudnya, pemerintah, pihak-pihak terkait, mereka yang peduli, teruslah bersuara untuk mensosialisasikan, mengajak, mengimbau, masyarakat untuk berprilaku bersahabat dengan yang namanya toilet ini. Akan halnya seperti yang salah satunya disuarakan Yayasan Kateda, sebuah komunitas yang mengintroduksi perubahan prilaku, alih teknologi, dan pemberdayaan masyarakat Sumbar. Seperti membuat gerakan, membangun prilaku masyarakat, keluar bersih dari toilet. Keren!
Keenam, perlukah Perda tentang Toilet Umum? Ini baru sekadar pertanyaan, untuk ‘dikunyah-kunyah’. Kebanyakan daerah, yang ada baru punya Perda tentang Retribusi WC. Lebih pada pungutan. Ini, kalau mau, lebih menyasar pada prilaku masyarakat. Benar sih, kalau sudah bicara Perda terkait prilaku, seperti Perda larangan merokok di kawasan umum atau Perda tentang prilaku membuang sampah sembarangan, hanya hangat di awal, sesudah itu mandul.
Hehe, lain kali sajalah membahas tentang gagasan payung hukum daerah yang satu ini. Panjang pula ceritanya. Yang jelas, pentingnya membangun prilaku keluar bersih dari toilet itu, tak di mana-mana, tapi (sesungguhnya) ada di hati kita. Toilet bersih, prilaku kita bersih, hati pun jadi senang.
Ya, seperti kemarin, saat sore mulai rebah, saya singgah di sebuah masjid gagah di pinggir Pantai Padang, menunaikan shalat Ashar, dan ternyata toiletnya harum, bersih. Seperti toilet hotel bintang empat. Senang hati kita. Siplah…! (*)
Artikel ini ditulis oleh Gusnaldi Saman, Wartwan Harian Singgalang, Juara 1 Lomba Karya Tulis Jurnalistik Gerakan Keluar Bersih