Cerita Supardi Penjaga WC Umum, Bisa Identifikasi Makanan Manusia dari Kotorannya-Rahmat Panji

Siang yang terik tanpa hembusan angin dari Pantai Gandoriah Kota Pariaman, Sumatera Barat, pria paruh baya berkepala plontos menggunakan baju coklat garis-garis duduk tersandar di kursi plastik warna hijau, Jumat (26/8/2022). Pria tersebut bernama Supardi (63), ia merupakan penjaga WC umum yang sudah 18 tahun menekuni profesi ini, bahkan sudah ragam juga keahliannya dari pekerjaan ini.

Siang itu tempat mangkalnya lengang, terpaksa pria itu ongkang-ongkang kaki sembari menonton sejumlah video di telepon pintarnya. “Sepi hari ini, dari pagi baru satu orang,” kata pria yang datang ke Kota Pariaman pertengahan tahun 1990an itu. Pria asal Medan itu sudah 18 tahun menekuni profesi sebagai penjaga WC umum, sudah 4 kali pula ia pindah tugas dari satu WC ke WC lainnya. Selaku penjaga WC umum, Supardi harus datang lebih pagi dari para pengunjung dan pulang lebih malam, gayung dan sikat WC adalah senjatanya.

Persoalan kotoran manusia adalah hal remeh untuknya yang sudah merasakan cipratan air seni dari botol plastik membasuh mukanya. Sembari mendeham, Supardi mulai memamparkan kisahnya yang tersangkut sebagai tukang jaga WC umum pada tahun 2004 silam. “Jadi karena tidak ada tempat tinggal saya sampaikan kepada atasan untuk bisa tinggal di rumah sampah dekat stasiun Pariaman,” kata pria yang awalnya bekerja sebagai tukang sapu pasar dan jalanan di Kota Pariaman itu. Atasannya kaget dengan pilihan itu, tapi Supardi sudah yakin dan tidak mempermasalahkan kalau tempat itu bau dan jorok.

Tinggal di rumah sampah selama beberapa bulan, atasan Supardi memintanya untuk membersihkan WC umum disebelahnya. WC itu ada 2 buah, satu untuk perempuan dan satu untuk laki-laki, keadaannya kotor dan bau karena tidak ada yang membersihkan. Bayangkan saja, tenaga yang harus ia habiskan untuk membuat pengguna WC umum itu kembali datang, setelah lama dibiarkan kotor. Kondisi serupa ini bukan masalah bagi Supardi yang sudah pernah salah raba isi kantong plastik berisikan kotoran manusia saat jadi tukang sapu.

Bekas kotoran manusia yang berserakan itu baginya hanya angin lalu, seingatnya ada tipe-tipe juga kotoran manusia ini dalam kloset. Selain tipe kotoran manusia, ragam warna dan bau air seni juga sudah banyak terekam dalam ingatannya. “Sekarang kalau masuk WC yang kotor, saya sudah tau ini orang habis makan apa dari jenis dan baunya,” terangnya mengenang keahlian aneh itu. Kali pertama bertugas menjaga WC umum tahun 2004, satu orang pengguna membayar Rp 25 hingga Rp 50, dengan pendapatan harian untuknya paling besar Rp 500 per hari.

Pendapatan sebanyak itu menurutnya sebanding dengan ragam noda kuning yang selalu ia sikat jelang pulang ke rumah untuk istirahat. Kepercayaan atasannya pada Supardi yang cekatan soal kebersihan, membuatnya kembali dipercaya menjaga WC umum yang baru, berjarak sekitar 30 meter dari tempat sebelumnya. di tempat yang baru ini  sekitar tahun 2008, Supardi membayar sewa sebanyak Rp 800 ribu setahun, dengan jumlah WC 4 buah, harga sewa dengan pemasukannya masa itu sesuai dengan kebutuhan sehari-harinya.

Ayah 5 anak itu kembali berpindah lagi di sekitaran stasiun dan baru pada tahun 2020 lalu, ia mendapat tempat baru di kawasan wisata Pantai Gandoriah. Tempat ini berada persis di bawah landmark tulisan pantai Gandoriah di bibir pantai, itu merupakan tempat WC umum keempat yang ada di kawasan wisata ini. Tempat ini berada di bawah pengawasan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Pariaman, WC umum yang dikelola Supardi kali ini diperuntukan untuk perempuan, dengan jumlah 9 buah kamar, 5 buah kamar bilas dan 4 buah WC. Ukurannya sekitar 12 meter dengan lantai beralas ubin keramik yang atasnya kasar agar tidak licin. Pintunya dari plastik, 4 buah Wc- nya 3 kloset duduk dan 1 kloset jongkok.

Kondisinya sangat bersih, setiap pagi selalu ia bersihkan, bahkan kalau sudah lebih 10 orang masuk ia kembali mengecek kebersihannya, serta sore sebelum berkemas pulang WC kembali ia bersihkan. “Ganti olahraga,” katanya tertawa. Pembersihan ini harus rutin ia lakukan mengingat banyak pengguna yang tidak sadar akan kebersihan WC setelah menggunakan.

“Makin kemari makin parah perangai penggunanya,” kata ayah yang sudah menyekolahkan 2 dari 5 anaknya hingga bangku kuliah itu. Sudah 18 tahun bertugas, baru sekarang ia melihat ragam laku pengguna mulai dari membuang kotoran di bak atas kloset, di lantai, dan saluran pembuangan air. Selama bercerita tidak ada rasa jijik di raut mukanya, malah selama bercerita, ia mengenang dengan senyum lebar dan tawa lepas. Ia mengira perangai menjadi-jadi pengguna ini karena stigma dimana mereka sudah membayar pada penjaga WC umum, sehingga boleh saja menggalakan kotoran. Bagi Supardi itu tidak masalah karena memang tugasnya, tapi ia jadi miris dengan perilaku ini karena kesadaran masyarakat yang terus menurun.

Perilaku ini menurutnya adalah gambaran dari para pengguna dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mudah saja bagi mereka meninggalkan kotoran dengan hati lapang. “Saya sebagai petugas tidak bisa marah, lagian pada siapa saya mau marah, penggunanya ramai, mereka gunakan yang mana saya juga tidak tahu,” terangnya sambil tertawa hingga batuk. Selain itu sampah juga rutin ia pungut dari dalam WC Umum khusus perempuan ini, seperti pembalut, plastik atau popok bayi, dan sampah lainnya. Keberadaan sampah itu juga beragam ada yang bergelantungan di dinding atau pintu, terserak di lantai, dalam kloset bahkan di bawah bak penampung air. Sesekali ada pengguna yang teriak kaget melihat hal itu dan lekas memanggilnya keluar untuk mintak tolong dibereskan, tapi beberapa ada juga yang tidak peduli dan memilih pindah ke WC sebelahnya. “Kalau mereka bilang lebih bagus, jadi bisa langsung dibersihkan,” tuturnya.

Persoalan pengguna semacam ini juga jadi sorotan baginya, menurutnya ada sebuah perlakuan umum dari para pengguna, dimana mereka tidak mau membersihkan WC umum yang kotor saat mereka masuk. “Jadi mereka hanya menimpali bekas kotoran yang ada atau menambah sampah yang sudah menumpuk,” jelasnya. Belum lagi perangai pengunjung yang suka merusak barang di dalam WC, seperti kran air, kloset, ember dan gayung. Tidak terhitung juga kalinya sejak tahun 2020 Supardi belanja ke tempat toko bangunan untuk membeli yang baru. Terlebih WC umum ini sudah ia kontrak seharga Rp 2.5 juta pertahun dari Disparbud Kota Pariaman, jadi semua kerusakan dan pengelolaan jadi tanggung jawabnya. “Mau tidak mau harus saya ganti, lagian saya tidak tahu siapa yang merusak,” katanya, karena kejadian serupa ini sering terjadi saat pengguna WC umum ramai.

Kesadaran pengguna WC umum yang terus menurun ini baginya adalah masalah individu, jadi memang harus diperbaiki dari lingkungan terkecil seperti keluarga. Kalau tidak ada perbaikan maka akan tambah berat tugasnya sebagai penjaga WC umum di tahun mendatang. “Ya balik ke diri sendiri saja dan saling mengingatkan,” tuturnya. dari ragam perilaku di atas, beberapa pengguna menurutnya ada juga yang tertib dan tetap mengutamakan kebersihan saat masuk dan keluar WC umum. Pengguna seperti ini menurutnya sudah berhasil didik dengan baik oleh keluarganya, “yang seperti itu harus di tiru,” katanya. Selain umpatan dan pengalaman tentang sampah dan kotoran manusia, Supardi merasa sangat terbantu  dan senang dengan perkejaannya sekarang.

Selama menjadi penjaga toilet di kawasan wisata Pantai Gandoriah ini, penghasilan terbesarnya bisa Rp 5 juta dalam sepakan. Tapi bisa juga ia hanya menghabiskan waktu seharian tanpa pengguna yang datang. Pekerjaan ini malah membuatnya jadi sangat perhatian dengan kebersihan, perhatian serupa ini ia wariskan pada seluruh anaknya. Ia berharap anaknya mampu mewariskan pada para cucunya, hingga nanti generasi mendatang lebih sadar akan kebersihan. “Semoga tahun-tahun mendatang perilaku pengguna WC Umum bisa berubah, kesadaran mereka bisa meningkat,” terangnya menghela nafas panjang.

Lebih 40 menit berbincang dengan Supardi yang baru mendapatkan satu pengguna WC, baru pada pukul 15.30 WIB sejumlah pengunjung yang butuh WC umum datang satu per satu. Duduknya kembali ia benarkan, matanya tampak mengecil dengan garis bibir yang ditarik saat pengguna hendak masuk. Terpaan angin dari arah pulau Angso duo dan langkah kaki para pengguna yang datang layaknya angin segar baginya karena ada uang masuk untuknya sebelum tutup sehabis Maghrib nanti. “Ya kalau sudah ada yang datang agak lega juga,” semburat garis menyisir wajah pria kelahiran 63 tahun silam itu.

Artikel ini ditulis Oleh : Rahmat Panji, Wartwan Tribun Sumbar, Juara 2 Lomba Karya Tulis Jurnalistik Gerakan Keluar Bersih

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *